EVALUASI TPA
Sebagaimana setiap lembaga atau institusi pendidikan apapun, Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) tentu memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan. Taruhlah tujuan pendidikan di TPA secara umum adalah santri mampu membaca Al-Qur’an, santri memiliki akhlak yang baik, dan santri memiliki pengetahuan agama dasar yang cukup. Tujuan-tujuan ini di beberapa TPA yang memiliki manajemen rapi biasanya tertuang dalam bentuk kurikulum.Satu hal yang penting adalah, kapan dan bagaimana mengukur tingkat keberhasilan pencapaian tujuan tersebut. Cara untuk mengetahui sejauh mana pencapaian tujuan-tujuan pendidikan adalah melalui evaluasi belajar. Dalam hal ini, evaluasi jelas menduduki posisi yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan, termasuk di TPA. Akan tetapi pertanyaan yang layak diajukan adalah bentuk evaluasi apakah yang paling tepat untuk TPA? Evaluasi yang baik tentu harus mampu menjawab semua informasi tentang tingkat pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Pendidikan pada dasarnya diarahkan untuk melahirkan anak-anak didik yang cerdas dan, di TPA, anak-anak yang ‘shalih’.
Sejauh ini, di beberapa TPA yang diketahui oleh penulis, bentuk evaluasi yang digunakan kebanyakan adalah tes baca untuk kemampuan baca-tulis Al-Qur’an (yang standarnya telah ada dalam petunjuk penggunaan buku Iqra’ maupun Qira’ati) dan bentuk evaluasi tes tertulis untuk materi non baca-tulis Al-Qur’an (akhlak, ibadah, tarikh, dll). Padahal, anak cerdas dan shalih tidak dapat diukur hanya dengan tes tertulis belaka. Memang benar, TPA kadang memiliki beberapa bentuk evaluasi, seperti evaluasi angket kontrol ibadah harian, maupun catatan harian ustadz/ustadzah. Namun, bentuk-bentuk evaluasi tersebut tampaknya hanya sekedar menjadi catatan, tidak menjadi standar penilaian akhir. Padahal bisa jadi, bentuk evaluasi yang paling obyektif dalam mengukur tingkat keberhasilan pendidikan di TPA adalah evaluasi-evaluasi harian non ujian tertulis tadi, bukan tes tertulis reguler yang diselenggarakan setiap akhir pembelajaran.
Selain bentuk evalusai, sistem pelaporan hasil belajar dalam bentuk raport prestasi perlu diperbaiki dengan bentuk lain yang lebih komperehensif. Bentuk pelaporan tersebut harus bisa mengggambarkan kondisi santri secara menyeluruh dan utuh. Sebagai contoh, apa arti santri memperoleh nilai 8 pada materi Akidah dan Akhlak di raportnya? Apakah itu berarti santri tersebut telah berbakti kepada orang tua? Apakah santri telah benar-benar memiliki perilaku yang terpuji? Atau, apa arti santri memperoleh nilai 9 pada materi fiqh ibadah? Apakah berarti ia telah melaksanakan ibadah shalat lima waktu? Apakah si anak telah mampu mempraktikkan semua materi yang diajarkan? Informasi nilai yang ada di raport tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sehingga nilai raport perlu dimodifikasi sehingga dapat memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya tentang kompetensi yang telah dimiliki santri. Sebagai contoh, bahwa untuk laporan hasil belajar Fiqh misalnya, perlu mencakup kemampuan tentang sholat yang benar, berwudhu yang benar, dan sebagainya. Hal yang sama dikembangkan untuk mata pelajaran yang lain. Jadi, sumber dari palaporan hasil belajar jangan hanya berasal dari tes tulis belaka, melainkan dari sumber-sumber evaluasi yang lain.
Standardisasi, Perlukah?
Saat ini ada sebuah wacana dan ide untuk membuat standardisasi kurikulum sekaligus standardisasi evaluasi pembelajaran TPA yang kemudian akan menjadi standar kelulusan santri. Penulis belum mengetahui bagaimana bentuk standardisasi yang diwacanakan tersebut, namun tampaknya ide ini ‘terinspirasi’ dari standardisasi semacam UAN. Menanggapi hal ini, penulis pribadi menjadi oposan terhadap ide ini. Ada tiga alasan yang mendasari:
Pertama, kondisi dan fasilitas setiap TPA sangat-sangat berbeda. Mari kita coba telusuri. Kita mulai dari sumber dana, lalu fasilitas alat tulis dan alat peraga, SDM ustadz/ah, manajemen, sampai kondisi sosial-ekonomi wali santri, dll. Semua itu tentu akan berimbas pada kemampuan santri. Jika begini, bagaimana mungkin standardisasi dapat dilakukan. Jangankan untuk TPA, sekolah formal saja juga kesulitan mengadaptasi kurikulum dan standardisasi UAN yang ditetapkan pemerintah.
Kedua, standardisasi kurikulum dan evaluasi hanya bisa dilakukan untuk hal-hal yang benar-benar terukur. Jadi, mau tidak mau, evaluasi tersebut hanya melalui tes tertulis. Artinya, akan ada banyak sekali variabel lain dari kemampuan santri yang tentu akan sulit untuk dicakup dalam evaluasi yang terstandard tersebut. Lalu, bagaimana mungkin hasil evaluasi tersebut layak menjadi standard kelulusan santri?
Ketiga, standardisasi tersebut akan membatasi dan bahkan mungkin akan membunuh kreativitas para pengelola dan ustadz/ustadzah TPA. Selama ini, mereka selalu menggunakan inovasi dan kreasi masing-masing dalam mengelola TPA, sehingga setiap TPA justru memiliki karakter masing-masing yang unik. Termasuk kreasi mereka adalah dalam membuat bentuk-bentuk evaluasi untuk mengukur tingkat keberhasilan proses belajar mengajar di TPA masing-masing. Bagi penulis, di sinilah justru nilai lebih TPA dibanding lembaga-lembaga pendidikan formal. Kreativitas, kemandirian, dan daya cipta akan selalu terasah dalam setiap gerak langkah lembaga pendidikan rakyat seperti TPA.
Ahmad Baliyo Eko Prasetyo, S.Psi.